1 Ketentuan
Islam tentang wakaf beserta hikmah pelaksanaanya.
a. Pengertian wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari
perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk
masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau
diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang
dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu
Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah
Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain)
untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani:
328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum
yang ditimbulkan
Ditinjau dari
segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah
menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk
kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya
tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan
untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa
pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian
wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya
untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap
melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian
wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum
milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia
melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa
memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh
dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan
Pengertian
wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan
orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari
harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari
Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf
(wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia
sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan
definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah
itu sendiri
Pengertian
wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat
dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi
manfaat tersebut walaupun sesaat
Pengertian
wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum
seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang
berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara
macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus
tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta
yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah,
bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk
masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
b. Hukum wakaf
Hukum wakaf
sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan
sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya
terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus
selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ
ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ
يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam),
yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak
shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang
diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta
wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya
Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada
Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan
tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan
tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Macam-macam wakaf berdasarkan bentuk
hukumnya ada dua katagori, yaitu :
1) Pertama, macam-macam wakaf berdasarkan
cakupan tujuannya, yaitu :
(a) Wakaf umum, adalah wakaf yang tujuannya mencakup semua orang
yang berada dalam tujuan wakaf, baik cakupan ini untuk seluruh manusia, atau
orang-orang yang berada di daerah mereka. Jika wakaf tujuannya umum untuk fakir
miskin, maka perlu diperjelas mencakup orang-orang miskin dari kalangan muslim
dan non-muslim atau orang-orang miskin dari kalangan muslim saja, atau
orang-orang miskin dari kalangan non-muslim saja, atau orang-orang muslim yang
berada tanpa daerah yang lain.
(b) Wakaf khusus atau wakaf keluarga, adalah wakaf yang manfaat
dan hasilnya diberikan oleh wakif kepada seseorang atau sekelompok orang
berdasarkan hubungan dan pertalian yang dimaksud oleh wakif. Contohnya wakaf
untuk tetangga dengan jumlah dan nama yang telah ditentukan oleh wakif.
(c) Wakaf gabungan, adalah wakaf yang sebagian wakaf manfaat dan
hasilnya diberikan khusus untuk anak dan keturunan wakif, serta selebihnya
disalurkan untuk kepentingan umum. Wakaf gabungan ini pada realitanya lebih
banyak dari wakaf keluarga, karena biasanya wakif menggabungkan manfaat
wakafnya untuk tujuan umum dan khusus, seperti separuh untuk keluarga dan
anak-anaknya dan separuhnya lagi untuk fakir miskin.
2) Kedua, macam-macam wakaf berdasarkan
kelanjutannya sepanjang zaman, yaitu :
(a) Wakaf abadi, yaitu wakaf yang
diikrarkan selamanya tetap berlanjut sepanjang zaman. Wakaf yang
sebenarnya dalam islam adalah wakaf abadi, yang pahalanya berlipat ganda dan
terus berjalan selama wakaf itu masih ada. Pahala wakaf ini mengalir untuk wakif
selama wakafnya terus berlangsung.
Keabadian wakaf biasanya berlangsung
secara alami pada wakaf tanah. Sedangkan bangnunan benda lainnya tidak mungkin
berlangsung kekal tanpa ada penambahan barang baru lainnya, baik itu berupa
perawatan dan rehabilitasi yang berkelanjutan atau menggantikan benda baru atas
kebijaksanaan nazir wakaf.
Apabila benda wakaf tidak mempunyai
sumber dana untuk pembiayaan perawatan dan rehabilitasi, maka semua wakaf
selain tanah sifatnya sementara. Karena wakaf selain tanah akan rusak dan
punah.
(b) Wakaf sementara, yaitu wakaf yang
sifatnya tidak abadi, baik dikarenakan bentuk barangnya maupun
keinginan wakif sendiri.
3) Macam-macam wakaf berdasarkan
tujuannya
Dalam sejarah pelaksanaan wakaf,
yang terspenting dalam macam-macam wakaf adalah wakaf bedasarkan tujuannya.
Adapun beberapa macam wakaf berdasarkan tujuannya diantaranya :
(a) Wakaf air minum. Wakaf ini termasuk di antara tujuan wakaf
yang pertama dalam islam dan tercermin dalam wakaf Utsman bin Affan ra yang
berupa sumur Raumah
(b) Wakaf sumur dan sumber mata air di jalan-jalan yang biasa
menjadi lalu lintas jamaah haji yang datang dari Iraq, Syam, Mesir dan Yaman,
serta kafilah yang bepergian menuju India dan Afrika. Diantara sumur wakaf pada
saat itu adalah wakaf sumur dari Zubaidah, istri seorang Khalifah di zaman
pemerintahan Abbasiah, yaitu Harun Ar-Rasyid yang namanya dikenal sepanjang
jalan dari Baghdad hingga Hijaz. Selain itu, untuk memberikan pelayanan kepada
jamaah haji, telah dibangun tempat peristirahatan di jalan-jalan utama yang
membentang dari daerah Samarkhan hingga Vas. Sebagian dari bangunan tempat
peristirahatan tersebut telah dibangun pada masa seratus tahun pertama Hijriyah
dan mengalami penyempurnaan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis dengan
fasilitas yang meliputi tempat peristirahatan binatang tunggangan. Umumnya
tempat peristirahatan tersebut juga menyediakan makan dan minum bagi tamu yang
menginap.
(c) Wakaf jalan dan jembatan untuk memberi pelayanan umum kepada
masyarakat. Wakaf pelayanan jalan biasanya diikuti dengan wakaf penerangan di
jalan-jalan yang menyala sepanjang malam dan penyediaan tempat bermalam bagi
orang-orang asing yang datang. Wakaf tempat peristirahatan ini biasanya diikuti
dengan wakaf kamar mandi dan tempat bersuci serta berbagai kepentingan umum
lainnya.
(d) Wakaf khusus bantuan untuk fakir miskin dan orang-orang yang
sedang bepergian. Wakaf ini telah ada pada masa awal islam ketika Umar bin Ali
Khathab ra memberi wakaf khusus membantu fakir miskin dan orang-orang yang
sedang bepergian atas saran Nabi Muhammad SAW. Sepanjang sejarah islam, bentuk
wakaf seperti ini merupakan tujuan wakaf yang paling banyak.
(e) Wakaf pembinaan sosial bagi mereka yang membutuhkan,
diantara yang termasuk wakaf sosial ini diantaranya adalah, wakaf untuk
pembinaan anak-anak, seperti penyediaan susu bagi keluarga yang membutuhkan
untuk anak-anaknya, wakaf penyediaan obat-obatan untuk penyakit anak-anak,
wakaf pembinaan perempuan, terutama bagi perempuan-perempuan yang berasal dari
kalangan yatim piatu atau perempuan yang disakiti suaminya dan kabur dari
rumahnya agar ditampung di asrama, diberi makan dan diupayakan untuk kembali
hidup rukun dengan suaminya atau diuruskan perceraiannya ke pengadilan dan
wakaf untuk membantu orang-orang yang sedang mengalami tekanan batin dan
stress, yaitu dengan cara menenangkan dalam waktu dekat, mengunjunginya dan
memberikan solusi atas beban yang dipikulnya.
(f) Wakaf sekolah dan universitas serta kegiatan ilmiah lainnya.
Dalam sejarah, wakaf ini termasuk diantara tujuan wakaf yang paling mendapat
perhatian dari kaum muslimin. Hampir di setiap kota besar di negara-negara
islam di dunia terdapat sekolah dan universitas serta Islamic Center yang
berasal dari wakaf
(g) Wakaf pelayanan kesehatan. Wakaf ini meliputi pembangunan
puskesmas dan rumah sakit, pemberian obat-obatan, gaji dokter dan perawat
termasuk gaji pekerja rumah sakit lainnya dan perlengkapan peralatan medis
lainnya.
(h) Wakaf pelestariaan lingkungan. Wakaf ini menunjukan bahwa dalam
islam wakaf bukan saja untuk pembinaan komunitas manusia, tetapi juga untuk
pelestarian cagar budaya dan lingkungan, contohnya wakaf untuk pemeliharaan
aliran air dan pelestarian sungai.
c. Syarat dan Rukun wakaf
1) Syarat Wakaf
Syarat-syarat
harta yang diwakafkan sebagai berikut:
a) Diwakafkan
untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
b) Tunai tanpa
menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya
wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”.
Hal ini disebut tanjiz
c) Jelas mauquf
alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang
diwakafkan (mauquf) itu
2) Rukun Wakaf
a) Orang yang
berwakaf (wakif), syaratnya;
- kehendak
sendiri
- berhak berbuat
baik walaupun non Islam
b) sesuatu (harta)
yang diwakafkan (mauquf), syartanya;
Ø barang yang
dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun
dikemudian hari
Ø milki sendiri
walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak
dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
c) Tempat berwakaf
(yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak
dalam kandungan tidak syah.
d) Akad, misalnya:
“Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan
sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan
bersifat umum)
3) Hukum mengganti barang wakaf
Tentang penggantian/perubahan benda
wakaf di atas menurut pendapat imam madzhab yang erat kaitannya dari pengaruh
pengertian wakaf yang dikemukakannya, maka berikut ini menurut pendapat Ibnu
Taimiyah bahwa mengganti apa yang diwakafkan dengan sesuatu yang lebih baik ada
dua macam:
Pertama, penggantian karena kebutuhan, misalnya karena macet maka
dijual dan hasilnya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya;
misal kuda yang diwakafkan untuk perang bila tidak mungkin lagi dimanfaatkan
dalam peperangan maka ia dapat dijual dan hasilnya dipergunakan untuk membeli
apa yang dapat menggantikannya; masjid jika rusak dan tidak mungkin diramaikan
maka tanahnya dijual dan hasil penjualannya dapat dipergunakan untuk membeli
apa yang dapat menggantikannya.
Kedua, Penggantian karena kepentingan
yang lebih kuat, misalnya menggantikan hadiah dengan apa yang lebih baik dari
padanya, masjid bila dibangun masjid lain yang lebih layak bagi penduduk
kampung dan masjid yang lama boleh dijual Pendapat ini identik dengan pendapat
pmam Ahmad ibn Hambal di atas. Karena beralasan pada sebuali hadis Umar ibn
Khattab, yang memindahkan masjid Kufah yang lama ke tempat yang baru, dan
tempat yang lama dijadikan pasar bagi penjual-penjual Tamar. Contoh lain adalah
bahwa Umar ibn Khattab dan Utsman ibn Affan pernah membangun masjid Nabawi
tanpa mengikuti konstruksi pertama dan dengan memberi tambahan. Berdasarkan
fenomena tersebut maka diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari satu bentuk
ke bentuk lainnya demi maslahat yang mendesak.
Prinsip-prinsip
wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya
tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan
tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf
itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau
nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan
gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab
dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan
tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang
diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar
r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid
yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru
tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok
wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan
tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.
4) Hukum penggunaan harta wakaf dalam
transaksi produktif
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf maka pemanfaatan/penggunaan benda wakaf harus dilakukan oleh
Nadzir untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya.
Pemanfaatan tersebut dikelola secara
produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman
modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan,
perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah
susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana
kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
Untuk pengelolaan dan pengembangan
benda wakaf tersebut harus digunakan penjamin yaitu lembaga penjamin syari’ah
dan yang dimaksud lembaga penjamin syari’ah adalah badan hukum yang
menyelenggarakan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan
antara lain : melalui skim asuransi syari’ah, perbankan syari’ah, atau skim lainnya
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5) Menjelaskan hikmah wakaf
Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan
perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77)
b) Memanfaatkan
harta atau barang tempo yang tidak terbatas
Kepentingan
diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk kepentingan masyarakat
Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum muslimin. Mengenai hal ini,
rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya:
مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ
الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث)
Artinya: “Barangsiap yang tidak
memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari
golonganku.” (Al Hadits)
c) Mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
Wakaf biasanya diberikan kepada badan
hukum yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan
kaidah usul fiqih berikut ini.
مَصَالِحِ الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى
مَصَالِحِ الْجَاصِّ
Artinya: “Kemaslahatan
umum harus didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
Komentar
Posting Komentar